spot_img

Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

Akhir dari Diam

Hujan deras malam itu mengguyur halaman rumah besar mereka. Suara gemuruh petir sesekali memecah keheningan. Dwi berdiri di depan jendela, menatap air yang jatuh dari langit, sementara hatinya pun terasa sama deras dan kacau.

Pintu kamar terbuka. Gofur masuk dengan wajah tegang, jas kerjanya basah.

Gofur: (dingin) “Kita harus bicara.”
Dwi: (berbalik pelan, gugup) “Tentang apa, Mas?”
Gofur: (mengeras) “Tentang hatimu. Tentang aku. Tentang dia.”

Dwi terdiam. Suara hujan makin kencang, seakan ikut mendesak kejujuran yang selama ini ia sembunyikan.

Dwi: (menelan ludah) “Mas, tolong… jangan lagi bicarakan ini.”
Gofur: (mendekat, nadanya tajam) “Kenapa tidak? Apa kamu takut aku mendengar kebenarannya?”
Dwi: (air mata mulai jatuh) “Aku hanya tidak ingin melukai siapa pun.”
Gofur: (suara pecah, penuh luka) “Tapi kamu sudah melukaiku, Wi. Diam-diammu itu lebih tajam dari seribu kata.”

Dwi terisak, menutup wajahnya dengan tangan.


Tiba-tiba, suara bel rumah berbunyi. Keras, berulang-ulang, seolah seseorang tak sabar. Gofur menoleh curiga, lalu berjalan cepat ke pintu. Dwi berlari mengejarnya, hatinya berdebar tak karuan.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Saat pintu dibuka, di hadapan mereka berdiri Raka, basah kuyup, wajahnya penuh tekad.

Gofur: (mendesis) “Kamu…”
Raka: (menatap Gofur, lalu Dwi) “Maaf, aku datang bukan untuk menghancurkan. Aku hanya ingin kejelasan.”
Dwi: (gemetar, panik) “Raka, kenapa kamu ke sini? Ini gila!”
Raka: (lirih, penuh luka) “Lebih gila lagi kalau aku terus berpura-pura bisa hidup tanpamu, Dwi.”

Gofur mengepalkan tangan. Urat di pelipisnya menonjol.

Gofur: (geram) “Berani sekali kamu datang ke rumahku. Di hadapanku.”
Raka: (tegas, menatap lurus) “Aku tidak takut, Gofur. Aku hanya ingin dia bicara jujur. Selama ini dia diam. Aku ingin dengar dari mulutnya sendiri… siapa yang dia pilih.”

Dwi terpaku. Kedua pria itu menatapnya, satu dengan kemarahan yang membara, satu lagi dengan harapan yang hampir putus.

Dwi: (suara bergetar, air mata jatuh deras) “Aku… aku…”


Suasana hening. Suara hujan dan petir jadi latar menegangkan.

Gofur: (suara pecah, penuh tekanan) “Katakan, Wi. Aku atau dia?”
Raka: (lirih, penuh luka) “Aku siap pergi kalau memang bukan aku. Tapi aku tidak tahan lagi hidup dengan tanda tanya.”

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Dwi terisak semakin keras. Ia menutup telinga, kepalanya menunduk dalam.

Dwi: (berteriak putus asa) “Jangan paksa aku! Jangan paksa aku memilih!”

Air matanya jatuh tanpa henti.

Dwi: (isak lirih) “Karena siapa pun yang kupilih… aku tetap akan kehilangan diriku sendiri.”


Hening panjang. Gofur menatap Dwi dengan mata merah, tangannya terkulai lemas. Raka berdiri kaku, napasnya berat, wajahnya penuh kesakitan.

Tiba-tiba, listrik rumah padam. Gelap. Yang terdengar hanya suara hujan deras.

Dalam kegelapan, hanya isak Dwi yang terdengar, memecah keheningan.

Dan malam itu, akhirnya diam Dwi pecah, bukan dengan jawaban, tapi dengan tangisan. Jawaban yang dinanti dua hati, justru tenggelam bersama derasnya hujan.

BangKop
BangKophttps://tasikhost.com
Sukses itu bonus, menuju kesuksesan itu baru pilihan. Jangan menunda kesempatan yang datang, sebelum didahului orang lain

Komentar

spot_imgspot_imgspot_img

Lainnya

spot_img

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Mungkin Tertarik

spot_img