spot_img

Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Diri yang Sepi

Jakarta selalu bising. Suara klakson bersahutan, teriakan pedagang kaki lima, deru mesin bus kota yang menderu tanpa henti—semuanya berbaur menjadi satu irama yang sulit dihindari. Di tengah keramaian itu, seorang perempuan bernama Dwi menjalani rutinitasnya yang nyaris sama setiap hari. Bangun pagi, berangkat kerja, lalu kembali ke mes kecil tempat ia tinggal bersama beberapa rekan kerjanya.

Mes itu tidak besar, sekadar bangunan sederhana dengan kamar berderet, cat dindingnya sudah mulai pudar, dan suara televisi dari kamar sebelah kadang mengganggu tidurnya. Bagi orang lain, mungkin tempat itu terlalu sumpek untuk dijadikan rumah, tetapi bagi Dwi, itulah satu-satunya ruang istirahat setelah hari-hari panjang yang melelahkan. Ia tidak punya pilihan lain, kecuali menerima keadaan.

Di mes, Dwi lebih sering menyendiri. Ketika teman-teman kerjanya memilih untuk nongkrong di warung kopi terdekat atau jalan-jalan setelah jam kerja, ia justru lebih suka berdiam di kamar. Menyibukkan diri dengan ponsel, mendengarkan musik, atau sekadar memandangi layar laptop tanpa tujuan jelas. Ia bukan tipe orang yang mudah berbaur; sifat introvert dan rasa malunya membuatnya lebih nyaman dalam kesunyian.

Meski begitu, kesepian sering kali datang tanpa permisi. Ada saat-saat ketika Dwi merindukan suara riuh rumahnya di kampung, tawa adiknya, dan obrolan sederhana dengan ibunya. Adiknya, Tika, adalah orang yang paling dekat dengannya. Tika yang ceria, selalu tahu bagaimana membuat Dwi tertawa, meski hanya lewat candaan sepele. Sayangnya, kini Tika tidak ikut merantau ke Jakarta. Hubungan mereka hanya terjaga lewat panggilan telepon atau pesan singkat di WhatsApp.

“Kak, jangan lupa makan, ya. Jangan kerja terus,” begitu salah satu pesan yang baru saja masuk malam itu.
Dwi tersenyum tipis membaca pesan adiknya. Ia mengetik balasan singkat, “Iya, Tik. Kamu juga jaga diri di rumah.”

Percakapan mereka memang tidak panjang. Tidak ada hal besar yang dibicarakan, tapi setiap pesan dari Tika seakan memberi sedikit ruang hangat dalam kesepian Dwi. Namun, setelah layar ponsel kembali redup, sunyi itu lagi-lagi datang menyelimuti.

Jakarta sebenarnya masih menyisakan sedikit ruang keluarga bagi Dwi. Ada Tante Tina—adik dari ibunya—yang juga tinggal di kota ini. Namun, mereka tidak serumah. Hubungan dengan Tante Tina terbilang baik, meski jarang bertemu. Kadang, jika rindu benar-benar menyesakkan dada, Dwi akan memberanikan diri menelpon tantenya.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

“Kapan main ke rumah, Wi? Tante masakin sayur asem kesukaanmu,” suara Tante Tina selalu terdengar hangat di telepon.
“Nanti kalau libur kerja, Tan. Meski jarang libur juga, hehe,” jawab Dwi sambil menahan rasa rindu.

Namun, ia jarang benar-benar datang. Entah karena lelah, atau karena rasa canggung yang selalu menahannya. Tinggal di Jakarta membuatnya merasa semakin kecil, seolah-olah ia hanyalah setitik pasir di tengah luasnya pantai.

Di tempat kerja, Dwi pun bukan sosok yang menonjol. Ia dikenal rajin dan rapi, tapi dingin. Teman-teman pria sering kali menjauh karena sikapnya yang kaku. Padahal, jauh di dalam hatinya, ia tidak benar-benar membenci mereka. Ia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Setiap kali ada pria yang mencoba mendekat, bibirnya seolah terkunci. Rasa gugup selalu lebih dulu mendominasi.

Namun, ada satu rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Di balik sikap dingin dan pemalu itu, hatinya diam-diam berdebar untuk seseorang. Bukan pria yang ia temui setiap hari, bukan pula seseorang yang bisa ia ajak bicara bebas. Hanya bayangan samar yang ia simpan dalam hati, perasaan yang tumbuh diam-diam tanpa pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Bahkan Tika, adiknya yang paling dekat, tidak pernah tahu soal itu.

Kadang, saat malam larut dan teman-teman mes sudah terlelap, Dwi duduk di tepi jendela kecil kamarnya. Lampu jalanan memantul di kaca, suara kendaraan masih berseliweran di kejauhan. Di saat-saat itulah ia membiarkan pikirannya melayang. Membayangkan andai saja ia bisa berani mengungkapkan perasaan itu. Membayangkan bagaimana rasanya dicintai dengan tulus.

Tetapi kenyataan selalu menariknya kembali. Ia tahu, hidupnya tidak semudah itu. Keluarganya punya harapan besar padanya, terutama ibunya, Bu Tuti, yang sudah sejak lama menginginkan Dwi segera menikah. Dwi tahu, cepat atau lambat, persoalan itu akan kembali menghantamnya. Dan saat itu tiba, rahasianya akan tetap terkubur dalam hati, karena ia terlalu takut untuk mengakuinya.

Jakarta, dengan segala hiruk pikuknya, menjadi saksi bisu perjalanan batin Dwi. Dari luar, hidupnya terlihat biasa-biasa saja: kerja, pulang, kadang mampir sebentar ke rumah tante, lalu kembali ke mes. Tapi di dalam hatinya, ada gejolak yang tak pernah reda. Gejolak yang hanya ia simpan untuk dirinya sendiri.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

Dan malam itu, ketika pesan singkat dari Tika kembali masuk—“Jangan kesepian, ya, Kak. Kamu kan hebat. Bisa kok jalanin semua ini”—Dwi menatap layar ponselnya lama sekali. Senyumnya muncul sebentar, sebelum akhirnya menghilang. Di balik tatapan matanya, ada rasa takut, rindu, dan sebuah rahasia cinta yang ia jaga rapat-rapat.

Jakarta terus bising, tapi di hati Dwi, hanya ada sunyi.


Keluarga dan Tekanan

Hari Minggu sore, udara Jakarta terasa lebih lengang dibanding hari kerja. Dari jendela mes, Dwi melihat jalanan yang sedikit lebih sepi, meski tetap saja tidak benar-benar sunyi. Ia baru saja selesai mencuci pakaian, lalu berbaring di ranjang tipisnya. Saat itulah ponselnya bergetar—panggilan masuk dari kampung. Nama Fina, kakak perempuannya, terpampang jelas di layar.

“Hallo, Wi,” suara Fina terdengar tegas seperti biasa.
“Hmm, iya, Kak. Apa kabar?” jawab Dwi pelan.
“Baik. Kamu gimana di sana? Jangan lupa makan, jangan kerja terus.”

Obrolan singkat itu awalnya terdengar biasa, sampai akhirnya Fina mulai masuk ke topik yang membuat hati Dwi berdebar.
“Wi, Mama tuh kemarin cerita. Katanya Tante Tina di Jakarta sempat ketemu sama Gofur, inget kan? Itu anaknya Pak Mahmud, teman lama Papa. Katanya dia kerja mapan, punya usaha sendiri. Mama sama Tante Tina mikir, kamu cocok sama dia.”

Dwi terdiam. Nama itu lagi. Gofur. Sejak beberapa bulan terakhir, nama itu kerap disebut keluarganya. Lelaki yang bahkan belum terlalu ia kenal, tapi entah kenapa keluarga begitu yakin bahwa ia adalah jodoh yang tepat untuknya.

“Kak, aku… aku belum kepikiran soal itu,” ucap Dwi hati-hati.
“Wi, umurmu sudah 28. Mama tuh khawatir. Kamu di Jakarta sendirian, kerja iya kerja, tapi masa nggak mikirin masa depan?” suara Fina meninggi, nada menasihati yang sering membuat Dwi merasa terpojok.

Dwi hanya diam. Ia tahu Fina sayang padanya, tapi terkadang perhatian itu terasa seperti beban. Ia menunduk, menatap lantai mes yang dingin.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

Malamnya, giliran ibunya, Bu Tuti, yang menelpon. Suara ibunya jauh lebih lembut dibanding Fina, tapi isinya tetap sama.
“Wi, Mama pengen kamu bahagia. Kalau ada yang serius, jangan ditolak. Mama sama Papa sudah sepakat, Gofur itu anaknya baik, sopan, bisa jaga kamu. Mama pengen lihat kamu nggak sendirian terus.”

Kata-kata itu menusuk hati Dwi. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa hatinya sudah dimiliki orang lain. Tapi lidahnya kelu. Ia tidak berani. Cintanya terlalu rapuh untuk diungkapkan. Bahkan menyebut namanya saja terasa mustahil.

Setelah telepon ditutup, Dwi menangis dalam diam. Ia menekan wajahnya ke bantal, meredam isak yang bisa saja terdengar oleh penghuni mes lainnya. Ia benci perasaan ini—antara cinta yang tidak bisa ia ungkapkan, dan tekanan keluarga yang semakin hari semakin berat.

Beberapa hari kemudian, ia bertemu dengan Tante Tina di sebuah warung makan sederhana. Tante Tina menyambutnya dengan pelukan hangat, lalu memesan makanan kesukaan Dwi, sayur asem dan ikan goreng. Namun, kehangatan itu kembali ternodai oleh pembicaraan yang sama.

“Wi, Tante tuh cuma pengen kamu bahagia. Kamu kan tahu Mama kamu, selalu khawatir. Gofur itu baik, lho. Dia sopan, mapan, masih muda juga. Tante rasa kalian cocok. Jangan keras kepala, ya.”

Dwi hanya tersenyum hambar, padahal hatinya ingin menolak sekuat tenaga. Di matanya, semua orang terlalu percaya bahwa Gofur adalah jawaban. Tidak ada yang tahu kalau hatinya sudah lebih dulu dimiliki oleh seseorang yang hanya ia simpan sebagai rahasia.

Sepulang dari pertemuan itu, Dwi berjalan sendirian di trotoar Jakarta. Lampu jalanan berkelip, suara kendaraan menderu melewati tubuhnya yang kecil. Ia merasa semakin terhimpit. Dunia di sekelilingnya begitu ramai, tapi hatinya terasa semakin sepi.

Dalam langkah-langkah kecilnya malam itu, Dwi mulai menyadari bahwa ia tidak hanya melawan keluarga. Ia juga sedang melawan dirinya sendiri—perasaan cinta yang ia pendam rapat-rapat, dan ketidakberanian untuk mengakuinya.

Jakarta kembali bising, tapi di dalam dada Dwi, ada suara lirih yang terus berbisik: “Kalau aku terus diam, apa aku akan kehilangan segalanya?”

BangKop
BangKophttps://tasikhost.com
Sukses itu bonus, menuju kesuksesan itu baru pilihan. Jangan menunda kesempatan yang datang, sebelum didahului orang lain

Komentar

spot_imgspot_imgspot_img

Lainnya

spot_img

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Mungkin Tertarik

spot_img