Dilema
Hari Minggu sore itu, hujan turun deras di Jakarta. Rintik air membasahi kaca jendela mes, meninggalkan jejak panjang yang menetes perlahan. Dwi duduk bersandar di ranjang, ponsel di tangannya bergetar tanpa henti. Grup WhatsApp keluarga ramai dengan pesan.
Fina menulis:
“Wi, kamu jangan kebanyakan mikir. Mama udah setuju banget sama Gofur. Dia mapan, baik, agamanya juga bagus. Kamu jangan keras kepala.”
Disusul dengan pesan lain dari ibunya:
“Nak, Mama cuma pengen kamu bahagia. Jangan bikin Mama cemas terus. Mama ingin lihat kamu punya keluarga sebelum Mama tua.”
Dwi menggigit bibirnya. Air mata mulai berkaca di sudut mata. Pesan itu begitu berat baginya. Ia tahu, ibunya tidak bermaksud jahat. Semua demi kebaikannya. Tapi kenapa hatinya terasa seperti dipaksa berjalan ke jalan yang tidak pernah ia pilih?
Belum sempat ia membalas, ponsel kembali berdering. Kali ini, panggilan suara dari Fina. Dengan berat hati, Dwi mengangkat.
“Wi, kamu denger ya. Mama tuh udah setuju sama Gofur. Kamu jangan nolak lagi. Kamu pikir hidup cuma kerja terus? Kamu pikir umurmu masih dua puluhan awal? Enggak, Wi. Kamu tuh udah dewasa, udah harus mikirin masa depan.”
“Aku tahu, Kak…” suara Dwi bergetar. “Tapi aku… aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Dia nggak kurang apa, Wi! Kamu aja yang terlalu banyak alasan!” Fina meninggi, nadanya penuh tekanan.
Dwi terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa hatinya sudah jatuh pada orang lain? Bagaimana ia bisa mengaku tanpa membuat keluarganya marah? Ia hanya mampu menahan tangis, sementara suara kakaknya terus mengomel di seberang.
Setelah telepon ditutup, tubuh Dwi lemas. Ia terisak, memeluk lutut di ranjang sempitnya. Ia ingin berlari, tapi ke mana? Jakarta yang luas ini tetap terasa sempit bagi hatinya.
Beberapa hari kemudian, ia memberanikan diri untuk curhat pada Yana, abang angkatnya yang sejak dulu jadi tempatnya bersandar. Mereka bertemu di sebuah warung kopi sederhana. Hujan baru saja reda, aroma tanah basah masih terasa.
“Kenapa wajahmu murung banget?” tanya Yana sambil menyeruput kopi hitamnya.
Dwi menunduk. “Aku capek, Bang. Semua orang maksa aku buat nerima Gofur. Padahal… aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Dia kan baik.”
Dwi menghela napas panjang. “Aku… nggak suka sama dia. Hatiku bukan buat dia.”
Yana menatapnya lama. “Terus, hatimu buat siapa?”
Pertanyaan itu membuat dada Dwi sesak. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menggeleng. “Aku nggak bisa cerita.”
Yana menghela napas, lalu menepuk lembut punggung tangan Dwi. “Kalau memang hatimu udah milik orang lain, ya jangan dipaksa. Tapi kamu juga harus kuat hadapin keluarga. Jangan diem aja, Wi. Kamu punya hak buat milih hidupmu sendiri.”
Kata-kata itu menenangkan, tapi juga menambah beban. Karena pada kenyataannya, Dwi tahu ia tidak cukup kuat. Ia terlalu takut mengecewakan ibunya.
Malam itu, ia kembali sendiri di kamar mes. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Dwi menatap layar ponselnya yang penuh dengan pesan tak terbaca dari keluarganya. Tangannya gemetar saat ia menuliskan pesan balasan untuk ibunya:
“Ma, aku sayang Mama. Tapi aku belum siap.”
Ia ragu menekan tombol kirim. Lalu, dengan air mata yang menetes deras, ia akhirnya menekan send.
Beberapa menit kemudian, balasan datang.
“Nak, Mama nggak mau kamu terus sendirian. Kalau bukan Gofur, siapa lagi? Mama takut kamu terlambat. Tolong pikirkan, Wi. Demi Mama.”
Dwi menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasanya seperti terjebak di antara dua jurang: di satu sisi, cinta rahasia yang ia simpan rapat; di sisi lain, restu keluarga yang semakin keras menekannya.
Dalam doa malamnya, Dwi hanya bisa berbisik:
“Ya Allah, kalau aku harus memilih, tunjukkan jalan yang terbaik. Jangan biarkan aku hancur di antara cinta dan keluarga.”
Dan malam itu, ia menangis sampai tertidur.