spot_img

Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Perjodohan yang Memaksa

Hari itu, Jakarta terasa lebih panas dari biasanya. Matahari menyengat tanpa ampun, membuat udara sesak meski Dwi sudah berteduh di dalam sebuah kafe kecil dekat pusat kota. Ia duduk di meja pojok, menatap gelas jus jeruk yang belum disentuh. Tangannya gelisah, jemari saling meremas, seolah ingin lari dari kenyataan.

Ia tahu, pertemuan ini bukan keinginannya. Semua ini ulah keluarga. Beberapa hari lalu, Fina menelpon lagi. Kali ini bukan sekadar membujuk, tapi benar-benar menekan.
“Pokoknya kamu temui Gofur dulu. Kenalan aja. Kalau nggak cocok, baru bilang. Jangan langsung nolak. Kasihan Mama, Wi.”

Akhirnya, dengan berat hati, Dwi mengalah. Ia datang, meski hatinya menolak keras.

Suara pintu kafe berderit, membuatnya tersentak. Seorang pria berpostur tinggi masuk dengan langkah mantap. Kemeja putih yang ia kenakan rapi, rambutnya disisir ke belakang, dan wajahnya menampilkan senyum sopan. Ia segera menghampiri meja tempat Dwi duduk.

“Assalamu’alaikum,” sapanya sambil sedikit menunduk.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Dwi singkat, matanya hanya melirik sekilas.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

Pria itu duduk di hadapannya. Dialah Gofur. Orang yang begitu diagung-agungkan keluarganya. Dari dekat, Dwi bisa melihat bahwa memang benar Gofur punya pesona: wajah bersih, tutur kata lembut, dan sikap penuh percaya diri. Namun, semua itu tidak membuat hatinya tenang. Justru semakin membuatnya gelisah.

“Jadi… ini pertama kali kita ketemu langsung ya, Mbak Dwi?” kata Gofur membuka percakapan.
“Iya,” jawab Dwi singkat lagi, sambil menunduk.

Suasana hening sejenak. Gofur tampak berusaha mencari topik. Ia menceritakan sedikit tentang pekerjaannya, tentang usaha kecil yang sedang ia kembangkan di bidang properti, dan juga keluarganya yang masih tinggal di kampung. Dari caranya berbicara, jelas bahwa ia orang yang sopan dan serius.

Dwi mendengarkan, tapi pikirannya melayang. Setiap kata yang keluar dari bibir Gofur seperti gema jauh yang sulit ia tangkap. Di dalam hatinya, ia hanya bisa bertanya-tanya: “Kenapa harus dia? Kenapa bukan… orang yang aku suka?”

Ketika Gofur bertanya balik, Dwi menjawab seadanya. Tentang pekerjaannya, tentang tinggal di mes, tentang betapa sibuknya hidup di Jakarta. Tidak lebih. Ia tidak ingin membuka diri terlalu banyak.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

“Kalau boleh tahu, apa Mbak Dwi sudah ada rencana menikah dalam waktu dekat?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Gofur, dengan nada hati-hati.
Dwi tercekat. Pertanyaan yang paling ia hindari justru datang begitu cepat. Ia menunduk lebih dalam, menggenggam gelas jusnya erat-erat.
“Belum,” jawabnya pelan.

Gofur tersenyum tipis, seolah mengerti. “Nggak apa-apa. Saya juga nggak terburu-buru. Saya cuma… ya, pengen kenal lebih dekat. Kalau cocok, ya Alhamdulillah. Kalau nggak, ya nggak apa-apa. Semua kan kembali ke ridho Allah.”

Jawaban itu terdengar bijak, bahkan menenangkan. Namun, bagi Dwi, justru semakin menambah beban. Ia tahu Gofur tidak salah. Ia baik, sopan, bahkan terkesan tulus. Tapi hatinya sudah lebih dulu memilih orang lain, seseorang yang bahkan tidak pernah bisa ia miliki.

Pertemuan itu berakhir tanpa kepastian. Mereka berpisah dengan ucapan salam yang sopan, dan Gofur masih meninggalkan senyum ramah. Sementara itu, Dwi berjalan pulang dengan langkah gontai.

Sesampainya di mes, ia langsung mengurung diri di kamar. Ia melemparkan tas ke ranjang, lalu merebahkan diri. Matanya menatap langit-langit kamar yang kusam. Rasanya ingin menangis, tapi air mata seolah menolak keluar.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Fina.
“Gimana, Wi? Gofur baik kan? Mama seneng banget kalau kalian lanjut.”

Dwi menggigit bibirnya. Ia tidak menjawab. Tangannya gemetar, dan akhirnya ia mematikan ponsel begitu saja. Ia terlalu lelah.

Malam itu, Dwi akhirnya menangis juga. Tangisnya pecah, tertahan di dalam bantal agar tidak terdengar orang lain. Antara rasa bersalah pada keluarganya dan perasaan cintanya yang tersembunyi, ia seperti terhimpit di dua dunia yang saling bertentangan.

Dan di sela tangis itu, ada doa lirih yang terucap:
“Ya Allah, kenapa hatiku mencintai orang yang tidak bisa aku miliki? Kenapa bukan dia yang Mama pilihkan untukku?”

Jakarta kembali gaduh di luar sana, tapi di dalam kamar sempit itu, hanya suara tangis Dwi yang menjadi musik malam.

BangKop
BangKophttps://tasikhost.com
Sukses itu bonus, menuju kesuksesan itu baru pilihan. Jangan menunda kesempatan yang datang, sebelum didahului orang lain

Komentar

spot_imgspot_imgspot_img

Lainnya

spot_img

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Mungkin Tertarik

spot_img