Pilihan yang Pahit
Hari itu, Jakarta tampak ramai seperti biasa. Jalanan padat, suara klakson bersahut-sahutan, dan orang-orang bergegas menjalani hidup masing-masing. Namun, di hati Dwi, dunia seakan berhenti berputar.
Pagi itu ia duduk di depan meja rias sederhana di rumah Tante Tina. Wajahnya dipoles riasan tipis, gaun pengantin putih melekat di tubuhnya. Cantik. Sempurna. Setiap orang yang melihat pasti akan memuji. Namun, tatapan matanya kosong. Hatinya mati rasa.
Cermin di depannya memantulkan sosok yang asing. Ia seperti sedang melihat orang lain, bukan dirinya.
“Aku benar-benar melakukannya…” batinnya. “Aku menikah, bukan dengan cinta, tapi dengan pilihan keluarga.”
Beberapa bulan terakhir, tekanan semakin kuat. Fina tak henti-hentinya menelpon, ibunya makin sering meneteskan air mata saat bicara dengannya, dan Tante Tina terus menyisipkan nasihat tentang masa depan. Hingga akhirnya, Dwi menyerah.
Ia menyerah bukan karena kalah, tapi karena lelah. Lelah menolak. Lelah menanggung rasa bersalah. Dan lebih dari segalanya, lelah melihat ibunya terluka oleh penolakannya.
Suara musik pernikahan mengalun pelan di aula sederhana tempat resepsi digelar. Para tamu berdatangan, menyalami, mengucapkan doa. Dwi duduk di pelaminan, tersenyum hambar di samping Gofur.
Gofur, dengan kemeja pengantin rapi dan wajah penuh percaya diri, tampak bahagia. Ia menyapa setiap tamu dengan sopan. Sesekali menoleh ke arah Dwi, memberi senyum hangat. Namun, Dwi hanya mampu membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Di tengah keramaian itu, pandangan Dwi justru mencari-cari seseorang yang tak pernah hadir. Sosok yang ia cintai diam-diam. Sosok yang ada dalam hatinya, tapi tak pernah bisa ia miliki. Kosong. Tak ada. Hanya bayangan dalam pikirannya.
Hatinya menjerit, namun tubuhnya tetap kaku. Ia menatap semua orang yang tampak bahagia: ibunya, Fina, Tante Tina, bahkan beberapa kerabat yang memuji betapa serasinya ia dengan Gofur.
“Alhamdulillah, akhirnya Dwi dapat jodoh yang baik,” terdengar suara ibunya pada tamu. “Saya lega sekali, sekarang saya bisa tenang.”
Ucapan itu membuat dada Dwi sesak. Ada rasa hangat, karena melihat ibunya bahagia, namun sekaligus pahit, karena kebahagiaan itu lahir dari pengorbanan hatinya sendiri.
Malam harinya, usai resepsi, Dwi duduk sendiri di kamar. Gaun pengantin sudah ia lepas, wajahnya masih menyisakan sisa riasan yang mulai luntur. Ia menatap cincin di jarinya. Benda kecil itu terasa berat, seolah menjadi rantai yang mengikat selamanya.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup mulut agar tangisnya tidak terdengar oleh siapa pun. Gofur mungkin ada di ruangan lain, keluarga masih sibuk membereskan sisa acara.
Dalam keheningan itu, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Selamat tinggal… untuk cinta yang tak pernah bisa kuceritakan. Mulai hari ini, aku hanya akan jadi istri Gofur. Tidak ada lagi ruang untuk perasaan lain.”
Ia menarik napas panjang, berusaha menegakkan kepala. “Kalau ini jalan yang harus aku pilih demi Mama, aku akan jalani. Walau hatiku hancur, setidaknya Mama tersenyum.”
Di luar kamar, terdengar suara ibunya tertawa kecil, bercampur dengan obrolan keluarga. Dwi menutup mata, membiarkan air matanya mengalir lebih deras.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Dwi benar-benar merasakan arti kata ikhlas, meski harus menukar seluruh perasaannya dengan kebahagiaan keluarga.
TAMAT, lanjut di part 2 ya...