Luka di Balik Senyum
Malam itu, rumah megah di sudut kota tampak sunyi. Lampu gantung kristal di ruang tamu berkilau indah, memantulkan cahaya ke dinding marmer yang mahal. Semua tampak sempurna, terlalu sempurna. Namun di balik keindahan itu, ada hati yang retak.
Dwi duduk di sofa panjang berlapis beludru biru, tubuhnya tegak tapi tatapannya kosong. Di pangkuannya, sebuah buku terbuka, namun matanya tak benar-benar membaca. Ia hanya menatap huruf-huruf yang menari samar, seakan pikiran terlempar ke masa lalu.
Langkah berat terdengar mendekat. Suaminya, Gofur, baru saja pulang dari kantor. Jas hitamnya masih melekat, dasi sedikit longgar, wajahnya tampak lelah namun tetap tegas.
Gofur: “Kamu belum tidur?”
Dwi (menoleh pelan, tersenyum tipis): “Baru saja mau, Mas. Nungguin kamu pulang.”
Gofur: (meletakkan tas kerjanya di meja, mendekat) “Tak perlu, Wi. Aku tahu kamu pasti capek seharian. Tidur duluan tidak apa-apa.”
Dwi: (tersenyum lagi, kali ini lebih lebar tapi hambar) “Aku terbiasa menunggu.”
Gofur duduk di sebelahnya. Ada jarak di antara mereka, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.
Gofur: “Besok kita ada undangan gala dinner dari rekan bisnis. Kamu harus ikut. Mereka ingin bertemu istriku.”
Dwi: (mengangguk pelan) “Iya, Mas. Aku ikut.”
Gofur: (menatapnya sesaat, nada suaranya datar) “Pakai gaun yang kubelikan bulan lalu. Yang biru itu. Kamu akan terlihat anggun.”
Dwi: “Baik.”
Hening beberapa detik. Dwi menunduk, jari-jarinya meremas ujung buku.
Gofur: (menghela napas, menatap lurus ke depan) “Aku ingin orang-orang tahu kalau aku punya istri yang sempurna. Jangan buat aku kecewa.”
Dwi: (tertegun, suaranya lirih) “Aku akan berusaha, Mas.”
Dalam hati, Dwi berteriak. Sempurna? Yang mereka lihat hanyalah topeng. Mereka tidak tahu luka yang aku simpan.
Keesokan harinya, suasana rumah besar itu tak jauh berbeda: tenang, rapi, dan kaku. Saat sarapan, meja panjang dipenuhi hidangan lengkap, roti panggang, buah segar, sup hangat, bahkan segelas jus jeruk yang masih berembun.
Dwi duduk di ujung meja, berhadapan dengan Gofur. Tak ada obrolan hangat layaknya pasangan suami-istri yang baru menikah. Yang terdengar hanya denting sendok dan garpu.
Dwi: “Mas, besok aku mau mampir ke rumah Mama sebentar. Sudah beberapa hari tidak ke sana.”
Gofur: (meletakkan sendok, menatapnya tajam) “Untuk apa sering ke sana? Kamu sudah jadi istri. Fokus di rumah ini.”
Dwi: (menahan napas, mencoba tenang) “Aku hanya rindu, Mas. Mama juga sudah tua…”
Gofur: (menyela, tegas) “Aku tidak melarang. Tapi jangan sampai mereka terlalu ikut campur dalam rumah tangga kita. Aku tidak suka.”
Dwi terdiam. Ia menunduk, matanya berkaca-kaca.
Dwi: “Aku mengerti.”
Gofur: (mengambil tisu, mengusap mulut, lalu bangkit) “Bagus.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Dwi sendirian di meja panjang yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Siang menjelang sore, Dwi berjalan ke balkon kamar. Dari sana, pemandangan kota tampak indah: gedung-gedung menjulang, jalanan sibuk, dan langit biru yang luas. Tapi semua itu tak mampu menenangkan batinnya.
Telepon genggam di meja bergetar. Sebuah pesan masuk. Bukan dari siapa-siapa yang spesial, hanya grup keluarga. Namun, sekilas ia melihat nama lama, seseorang yang dulu pernah memenuhi hatinya, seseorang yang ia cintai dalam diam.
Dwi cepat-cepat menutup ponsel, jantungnya berdetak tak karuan. Kenangan itu datang lagi. Mengapa bayanganmu selalu menghantui, bahkan ketika aku sudah menjadi milik orang lain?
Malam tiba. Mereka bersiap menghadiri acara gala dinner. Gaun biru itu melekat indah di tubuh Dwi, membuatnya tampak anggun. Gofur menatapnya sekilas saat Dwi turun dari tangga.
Gofur: (singkat) “Bagus. Kamu terlihat layak.”
Dwi: (tersenyum hambar) “Terima kasih.”
Di mobil, perjalanan terasa panjang. Sunyi. Hanya suara mesin yang mengisi ruang.
Dwi: (berusaha membuka obrolan) “Mas, apakah kamu bahagia dengan pernikahan ini?”
Gofur: (mengangkat alis, menoleh sekilas) “Kenapa bertanya begitu?”
Dwi: “Entah… aku hanya ingin tahu.”
Gofur: (menatap lurus ke jalan, suaranya dingin) “Bahagia itu bukan soal perasaan, Wi. Bahagia itu hasil dari pilihan yang benar. Dan menikahimu adalah pilihan yang tepat.”
Dwi: (suara lirih) “Meski tanpa cinta?”
Gofur: (menoleh tajam, matanya menusuk) “Cinta itu bisa dibangun. Jangan membahas hal yang tak penting.”
Dwi tercekat. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada pukulan apa pun.
Di acara gala dinner, senyum Dwi merekah lebar. Ia menyalami para tamu, menanggapi pujian, dan bercakap ramah dengan istri-istri pejabat lain. Dari luar, ia benar-benar tampak sebagai istri yang ideal, anggun, ramah, dan memesona.
Namun setiap kali ia melirik Gofur, yang tampak hanyalah tatapan puas, bukan cinta. Tatapan yang mengatakan: Lihat, inilah istri yang kuinginkan. Ia membuatku dihormati.
Senyum Dwi semakin melebar, tetapi hatinya semakin hancur.
Dalam perjalanan pulang, Dwi tak kuasa lagi menahan diri.
Dwi: (pelan, hampir berbisik) “Mas… pernahkah kamu benar-benar mencintaiku?”
Gofur: (diam sejenak, lalu tertawa kecil tanpa humor) “Pertanyaan bodoh. Kalau aku tidak mencintaimu, untuk apa aku menikahimu?”
Dwi: (menunduk, suaranya bergetar) “Mungkin karena alasan lain… bukan karena hati.”
Gofur: (menatapnya dengan sorot dingin) “Hati itu mudah berubah. Tapi kehormatan? Itu yang harus dijaga. Dan kamu bagian dari kehormatanku.”
Air mata menetes tanpa bisa Dwi tahan. Ia segera menghapusnya, menoleh ke jendela mobil agar Gofur tak melihat.
Luka ini terlalu dalam. Senyumku hanya topeng. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan?
Malam itu, rumah besar mereka kembali sunyi. Dari luar, tampak indah dan sempurna. Namun di balik dinding megah itu, ada seorang wanita yang menangis dalam diam, memeluk luka yang kian menganga.
Dan senyum itu… tetap ia kenakan, meski hatinya sudah hampir mati.