spot_img

Cinta yang Terkubur Dalam Diam | Part 2

Antara Setia dan Luka

Pagi itu, cahaya matahari menembus kaca besar kamar mereka. Dwi berdiri di depan jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong. Rambutnya terurai, wajahnya pucat meski ia mengenakan gaun tidur sutra mahal.

Suara langkah terdengar dari belakang. Gofur baru selesai berpakaian rapi, dasinya terpasang sempurna.

Gofur: (tanpa menoleh) “Aku ada perjalanan bisnis dua hari. Kamu di rumah saja.”
Dwi: (pelan) “Mas… aku boleh ke rumah Mama? Aku hanya ingin menemani sebentar.”
Gofur: (membalikkan badan, menatap tajam) “Aku sudah bilang, jangan terlalu sering ke sana.”
Dwi: (menelan ludah, mencoba tenang) “Aku hanya ingin menenangkan hati, Mas. Aku tidak akan lama.”
Gofur: (menghela napas berat) “Baik. Tapi jangan macam-macam, Dwi. Aku masih ingat siapa pria itu. Jangan sampai aku dengar nama Raka lagi.”

Dwi terdiam, hatinya seperti ditusuk.


Siang itu, setelah Gofur pergi, Dwi memberanikan diri keluar rumah. Bukan ke rumah Mama, melainkan ke sebuah taman kota, tempat ia dulu sering menenangkan diri saat kuliah.

Ia duduk di bangku kayu, mencoba mengatur napas. Tapi tiba-tiba, suara yang begitu familiar terdengar.

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Raka: (pelan, penuh kerinduan) “Dwi…”

Dwi menoleh cepat. Raka berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih sederhana. Tatapannya masih sama, hangat sekaligus menusuk hati.

Dwi: (terkejut, berdiri tergesa) “Raka! Apa yang kamu lakukan di sini? Jangan mendekat…”
Raka: (melangkah perlahan) “Aku hanya ingin bicara. Satu kali saja, Wi. Setelah itu aku pergi.”
Dwi: (gelisah, menoleh ke sekitar) “Kalau ada yang lihat kita… habislah aku.”
Raka: (lirih, dengan mata berkaca-kaca) “Aku tidak peduli pada dunia, Wi. Aku hanya peduli padamu. Aku ingin tahu… kenapa kamu terlihat begitu tersiksa?”

Dwi terdiam. Hatinya bergemuruh.

Dwi: (menahan tangis) “Karena aku sudah menikah, Raka. Hidupku bukan milikku lagi.”
Raka: (menahan emosinya) “Kalau begitu, kenapa air matamu selalu jatuh setiap kali kita bertemu? Kenapa senyummu kosong?”
Dwi: (bergetar) “Jangan tanyakan itu…”
Raka: (mendekat selangkah, suara tegas) “Jawab aku, Dwi! Kamu masih mencintaiku, kan?”

Air mata Dwi akhirnya jatuh. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

Dwi: (isak tertahan) “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Aku terjebak, Raka. Aku ingin setia, tapi luka ini terlalu dalam.”
Raka: (suara bergetar, penuh luka) “Kalau hatimu masih untukku, kenapa kamu menyerah begitu saja? Kenapa biarkan dirimu menderita?”
Dwi: (menatapnya dengan mata basah) “Karena aku istri Gofur. Karena aku harus menjaga janji dan kehormatan. Itu harga yang harus kubayar.”

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Hening. Raka terdiam, menatap wanita yang ia cintai dengan penuh perih.

Raka: (pelan) “Aku terlambat, ya?”
Dwi: (menangis, menggeleng) “Tidak. Kamu hanya datang di waktu yang salah.”


Tiba-tiba, ponsel Dwi bergetar. Nama Gofur muncul di layar. Ia buru-buru menghapus air matanya, menjauh dari Raka, dan menjawab panggilan itu dengan suara gemetar.

Dwi: (berusaha tegar) “Halo, Mas…”
Gofur: (dingin di seberang) “Kamu di mana?”
Dwi: (melirik Raka, menelan ludah) “Aku… aku sedang di taman, Mas. Sendirian. Butuh udara segar.”
Gofur: (diam sejenak, nada curiga) “Sendirian?”
Dwi: (memaksakan senyum, suaranya lemah) “Iya, Mas. Sendirian.”
Gofur: (dingin) “Baik. Hati-hati. Aku tidak ingin mendengar kabar aneh.”

Telepon ditutup. Dwi gemetar. Raka menatapnya, wajahnya penuh sakit.

Raka: (lirih) “Kamu bahkan harus berbohong untuk bisa bernapas.”
Dwi: (meneteskan air mata lagi) “Inilah hidupku sekarang. Aku tidak bisa lagi memilih dengan hati. Aku hanya bisa bertahan.”


Senja turun. Raka akhirnya mundur beberapa langkah.

Raka: (menahan emosi) “Aku tidak akan memaksa. Tapi ketahuilah, aku di sini. Kalau kamu jatuh, kalau kamu tidak kuat lagi, aku akan selalu ada.”
Dwi: (hampir berteriak, menutup telinga) “Jangan, Raka! Jangan buat aku semakin goyah…”

Baca Juga  Cinta yang Terkubur Dalam Diam

Ia berlari meninggalkan taman. Air matanya mengalir deras, dadanya sesak.


Malamnya, di kamar, Dwi duduk termenung di depan meja rias. Gofur sudah pulang. Ia masuk ke kamar, menatap Dwi sekilas.

Gofur: (singkat) “Kamu terlihat lelah.”
Dwi: (tersenyum paksa) “Iya, sedikit.”
Gofur: (mendekat, menaruh tangan di pundaknya) “Ingat, Wi. Kamu milikku. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kamu tetap istriku. Jangan pernah berpikir sebaliknya.”
Dwi: (menunduk, suara pelan) “Iya, Mas…”

Saat Gofur beranjak tidur, Dwi menatap wajahnya lewat bayangan cermin. Lelaki itu tampak begitu tenang, berbeda dengan hatinya yang penuh badai.

Setia… atau mengikuti suara hati? Apa pun pilihanku, luka ini tidak akan pernah hilang.

Dwi menutup mata, air mata kembali jatuh. Malam itu, ia benar-benar merasakan hatinya terbelah.

BangKop
BangKophttps://tasikhost.com
Sukses itu bonus, menuju kesuksesan itu baru pilihan. Jangan menunda kesempatan yang datang, sebelum didahului orang lain

Komentar

spot_imgspot_imgspot_img

Lainnya

spot_img

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Mungkin Tertarik

spot_img