Pertemuan Tak Terduga
Pagi itu, matahari menyinari rumah megah Dwi dan Gofur. Dari luar tampak tenang, namun hati Dwi masih berat setelah malam penuh air mata. Ia duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang sudah mulai dingin.
Tiba-tiba, suara Gofur memecah keheningan.
Gofur: “Hari ini aku ada rapat penting. Kamu jangan ke mana-mana tanpa bilang padaku dulu.”
Dwi: (pelan, menunduk) “Aku ada janji dengan temanku, Mas. Sekadar makan siang.”
Gofur: (mengangkat alis, nada dingin) “Teman? Teman yang mana?”
Dwi: (terbata, mencoba tenang) “Teman lama… teman kuliah.”
Gofur: (menarik napas, menatap tajam) “Baik. Tapi jangan terlalu lama. Ingat, kamu istri orang. Jaga sikapmu.”
Dwi: (tersenyum hambar) “Aku tahu, Mas.”
Gofur beranjak pergi, meninggalkan wangi parfum mahal yang samar-samar menusuk hidung Dwi. Setelah ia pergi, Dwi menutup wajah dengan kedua tangannya. Hatinya bergetar, bukan karena takut, tapi karena firasat aneh yang tiba-tiba muncul.
Siang itu, Dwi datang ke sebuah restoran mewah di pusat kota. Ia memilih meja di sudut, cukup tersembunyi dari pandangan umum. Gaun sederhana warna krem melekat di tubuhnya, wajahnya dirias tipis.
Ia menunggu cukup lama sampai akhirnya seorang teman lama datang, Ratna, sahabat kuliahnya dulu.
Ratna: (tersenyum lebar, memeluk Dwi) “Wi! Astaga, sudah lama sekali!”
Dwi: (tersenyum hangat, tulus kali ini) “Ratna… iya, sudah bertahun-tahun ya.”
Mereka berbincang hangat, mengenang masa lalu. Untuk sesaat, Dwi merasa bebas dari beban rumah tangga. Namun kebebasan itu tak berlangsung lama. Saat ia menoleh ke arah pintu restoran, waktu seakan berhenti.
Seorang pria masuk. Tinggi, berpenampilan rapi, wajahnya tegas namun menyimpan kehangatan yang dulu pernah membuat hati Dwi bergetar.
Dia.
Raka.
Sosok cinta lamanya.
Dwi terdiam. Tangannya gemetar memegang gelas. Ratna mengikuti arah pandangnya dan tersenyum kecil.
Ratna: (berbisik) “Kamu masih ingat dia, kan? Raka. Dia sekarang pengusaha sukses. Dunia ini kecil sekali, ya.”
Dwi: (gugup, berusaha menyembunyikan wajah) “Aku… aku tidak menyangka.”
Namun, terlambat. Raka sudah melihat mereka. Matanya langsung tertuju pada Dwi. Ada keheningan yang tak terucap, seakan waktu mundur ke masa lalu. Raka melangkah mendekat.
Raka: (tersenyum, suaranya berat namun lembut) “Dwi… ini benar kamu?”
Dwi: (berdiri kaku, mencoba tersenyum) “Raka… iya, ini aku.”
Raka: (menatapnya dalam, ada kerinduan di matanya) “Aku kira kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
Dwi: (menunduk, menghindari tatapannya) “Dunia memang sempit.”
Ratna, yang menyadari ketegangan itu, buru-buru mencari alasan.
Ratna: “Eh, aku harus pergi sebentar, ada telepon penting. Kalian ngobrol dulu saja.”
Ratna pergi, meninggalkan mereka berdua. Sunyi mendadak menyelimuti meja itu.
Raka: (duduk di hadapan Dwi, menatapnya lekat) “Bagaimana kabarmu, Wi?”
Dwi: (berusaha terdengar tenang) “Baik… aku baik.”
Raka: (tersenyum pahit) “Kamu tidak terlihat baik.”
Dwi: (tersentak, menatapnya) “Maksudmu?”
Raka: (suara rendah, penuh perasaan) “Matamu… masih sama seperti dulu. Menyimpan banyak hal. Senyummu indah, tapi aku bisa melihat lukanya.”
Dwi terdiam. Air matanya hampir pecah, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan.
Dwi: “Aku sudah menikah, Raka. Aku istri orang. Aku tidak boleh membicarakan hal-hal seperti ini.”
Raka: (menghela napas, suaranya berat) “Aku tahu. Tapi aku juga tahu… kamu tidak bahagia.”
Dwi: (tegas, meski gemetar) “Kamu salah. Aku bahagia dengan suamiku.”
Raka: (menatap tajam, lirih) “Kalau benar, kenapa suaramu bergetar saat mengatakannya?”
Dwi menunduk. Tangannya meremas ujung gaunnya. Jantungnya berdetak kencang.
Beberapa menit terlewat dalam diam. Akhirnya Dwi berdiri.
Dwi: (suara pelan, menahan isak) “Aku harus pergi.”
Raka: (ikut berdiri, menahan lengannya sebentar) “Dwi… aku tidak ingin merusak hidupmu. Aku hanya ingin tahu, kamu baik-baik saja atau tidak.”
Dwi: (menarik lengannya, mata berkaca-kaca) “Aku baik-baik saja. Jangan pernah mencariku lagi.”
Dwi melangkah cepat keluar restoran. Namun di luar, air matanya tak terbendung. Ia bersandar di dinding, tubuhnya gemetar. Mengapa takdir harus mempertemukan kami lagi?
Malamnya, Dwi pulang ke rumah. Gofur sudah duduk di ruang tamu, membaca koran. Ia menoleh ketika Dwi masuk.
Gofur: “Kamu lama.”
Dwi: (menunduk, berusaha tenang) “Maaf, Mas. Tadi ketemu teman lama, jadi agak lama ngobrol.”
Gofur: (menatap tajam) “Teman lama? Siapa?”
Dwi: (gelagapan) “Ratna… teman kuliah dulu.”
Gofur: (menyipitkan mata, penuh curiga) “Hanya Ratna?”
Dwi: (menelan ludah, memaksakan senyum) “Iya, hanya Ratna.”
Gofur terdiam, namun sorot matanya menelusup tajam. Dwi segera berlalu ke kamar, menutup pintu rapat-rapat.
Di dalam kamar, ia jatuh terduduk di lantai. Air matanya kembali mengalir deras. Tatapan Raka masih membekas, begitu juga kata-katanya: “Senyummu indah, tapi aku bisa melihat lukanya.”
Untuk pertama kali setelah sekian lama, Dwi merasa topengnya retak. Pertemuan tak terduga itu membuka kembali luka lama yang selama ini terkubur dalam diam.
Dan hatinya mulai bergetar lagi, meski ia tahu itu berbahaya.